Kolapsnya Silicon Valley Bank (SVB) di Amerika Serikat (AS) mengejutkan dunia pada pekan lalu. Ini menjadi yang terburuk sejak krisis global finansial 2008/2009, bahkan ada kekhawatiran masa kelam tersebut.
Bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) sampai mengadakan rapat darurat pada Senin (13/3/2023) waktu setempat. Hal ini tertuang dalam di situs resmi The Fed, pertemuan akan diadakan secara tertutup, disebutkan akan dilakukan peninjauan kembali dan penentuan discount rate atau bunga pinjaman yang dikenakan kepada bank komersial oleh The Fed di masing-masing wilayah.
Seperti diketahui, The Fed sangat agresif dalam menaikkan suku bunga sejak tahun lalu guna meredam inflasi. Dalam satu tahun, The Fed menaikkan Federal Funds Rate (FFR) sebesar 450 basis poin menjadi 4,5% – 4,75%, tertinggi sejak 2007 dan menjadi yang teragresif dalam empat dekade terakhir.
Tingginya suku bunga The Fed menjadi salah satu penyebab kolapsnya SVB. Banyak perusahaan startup menarik deposito mereka di SVB akibat kondisi saat ini menyulitkan untuk IPO. Penarikan dana yang ditempatkan di bank menjadi jalan untuk menstabilkan kondisi finansial.
Dampaknya, SVB menjadi kekurangan modal. Bahkan, SVB menjual obligasi yang dimiliki dengan kerugian mencapai US$ 1,8 miliar atau sekitar Rp 27,8 triliun (kurs Rp 15.445/US$). Lagi-lagi suku bunga The Fed yang tinggi menjadi biang kerok kerugian tersebut.
Suku bunga yang tinggi membuat harga obligasi AS (Treasury) saat ini jatuh, tercermin dari imbal hasil (yield) yang melesat naik. Maklum saja, para investor melihat penerbitan Treasury yang baru akan menawarkan yield yang lebih tinggi, bahkan menempatkan deposito di perbankan juga suku bunganya lebih menarik.
Alhasil, harga Treasury yang tersedia di pasar langsung terbanting, penjualan yang dilakukan SVB pun berakibat kerugian yang besar.
Pada Rabu pekan lalu, SVB mengumumkan rencana mereka untuk menambah modal sekitar Rp 2,25 miliar
Sebesar US$ 1,25 miliar atau sekitar Rp 19,3 triliun diharapkan diperoleh melalui penjualan saham sementara sebesar US$ 500 juta atau sekitar Rp 7,7 triliun melalui saham preferen konvertibel.
SVB juga telah mengumumkan deal dengan perusahaan investasi General Atlantic senilai US$ 500 juta melalui penjualan saham.
Namun, rencana tersebut gagal. Investor khawatir beban SVB akan membengkak dan mengalami kesulitan pembayaran mengingat tingginya suku bunga saat ini.
Nasabah dan investor kemudian melakukan penarikan uang secara besar-besaran atau rush. Hingga Kamis (9/3/2023), penarikan menembus US$ 42 miliar atau senilai Rp 648,69 triliun, dan neraca SVB menjadi negatif US$ 958 juta pada penutupan hari itu.
SVB pun akhirnya ditutup oleh Departemen Perlindungan Keuangan dan Inovasi California, dan diserahkan ke Lembaga Penjamin Simpanan AS (FDIC).
Kolapsnya SVB turut menyeret kinerja saham industri perbankan di Amerika Serikat dan Eropa. Hitungan Reuters memperkirakan saham-saham perbankan AS merugi US$ 100 miliar dari sisi market value dalam dua hari terakhir.Sementara itu, perbankan Eropa merugi US$ 50 miliar.
Bagaimana SVB menggunakan Dana Pihak Ketiga (DPK) yang dimiliki menjadi sorotan. Data dari FDIC yang dikutip Financial Times menunjukkan dalam dua tahun sejak April 2020 sekitar US$ 4,2 triliun deposito masuk ke perbankan di Amerika Serikat. Dari nilai tersebut hanya 10% saja yang disalurkan menjadi pinjaman.
Sekitar US$ 2 triliun dari dana DPK tersebut diinvestasikan ke surat berharga, sebagaimana besar adalah obligasi. Sebelum pandemi, portofolio perbankan di AS ke surat berharga mencapai US$ 4 triliun, hanya dua tahun berselang nilainya meroket hingga 50%.
Nahas, The Fed dengan agresif mengerek suku bunganya, membuat perbankan menderita kerugian besar. Harga obligasi yang jeblok membuat perbankan mengalami kerugian di atas kertas US$ 600 miliar.
Perbankan bisa meredam kerugian yang diderita jika tidak menjual Treasury yang dimiliki hingga jatuh tempo. Sayangnya SVB membutuhkan dana hingga harus menjual obligasinya, dan kerugian nyata pun diderita, bukan lagi di atas kertas.
Meski demikian bank-bank besar di AS pun diperkirakan akan baik-baik saja, meski ada kasus kolaps SVB.
“Kami pikir bank-bank besar akan baik-baik saja tahun ini. Tetapi itu (kasus SVB) tentunya menjadi hambatan,” kata Gerard Cassidy, analis perbankan di RBC Securities, sebagaimana dilansir Financial Times, Sabtu (11/3/2023).
Menteri Keuangan AS, Janet Yellen, pun mengatakan sistem keuangan AS tidak akan terpengaruh kolapsnya SVB. Yellen menyebut sejak krisis finansial 2008, sistem finansial di Amerika Serikat jauh lebih resilien.
Berbeda dengan Yellen, investor kelas kakap seperti Kyle Bass dan Bill Ackman menyatakan pemerintah harus segera bertindak agar keruntuhan tidak merembet ke sistem perbankan.
“Ketika anda sangat agresif menaikkan suku bunga sesudah menciptakan inflasi yang tinggi, anda akan menghancurkan sesuatu,” kata Bass ditujukan ke The Fed sebagaimana dilansir Reuters, Minggu (12/3/2023).
Tidak hanya sistem perbankan, korporasi lain juga bisa menjadi korban. Dengan suku bunga tinggi, kemudian risiko pelambatan ekonomi hingga resesi, pembayaran utang ke perbankan tentunya akan lebih berat.
Ekonom Nouriel Roubini, atau yang dikenal dengan Dr. Doom, ketika sukses memprediksi krisis finansial 2008, melihat kondisi ekonomi saat ini mirip dengan 2007/2008, dilihat dari tingginya utang negara dan korporasi. Hal ini bisa memicu krisis yang parah.
The Fed yang terus menaikkan suku bunga dikatakan akan menciptakan banyak ‘perusahaan zombie’, perusahaan yang dibentuk saat era suku bunga rendah, tetapi hingga saat ini belum mampu menghasilkan laba untuk membayar utang.
“Banyak institusi zombie, rumah tangga zombie, perusahaan, bank, shadow bank, dan negara zombie akan bangkrut akibat suku bunga yang terus naik,” ujar Roubini Oktober lalu.
Perusahaan zombie memang sudah kerap kali disebut dalam beberapa tahun terakhir. Perusahaan ini banyak tumbuh saat era suku bunga rendah, biaya utang yang murah, tetapi belum mampu mencatat profit atau membiayai utang mereka.
Selain itu Dr Doom melihat ada risiko resesi yang terjadi gabungan antara stagflasi 1970an dan 2008.
Dalam artikel Majalah Time yang terbit Kamis (13/10/2022), Dr. Doom mengatakan dunia akan menuju “kebangkrutan besar-besaran dan krisis finansial yang berlarut-larut”.