Siaga Satu! RI Terancam Diterjang Badai Finansial Pekan Ini

Layar monitor menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan saham. (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Pasar keuangan Indonesia ambruk pada pekan lalu. Banyaknya sentimen negatif dari China dan Amerika Serikat (AS) membuat pasar keuangan Indonesia jatuh.

Pasar keuangan Indonesia juga diperkirakan masih akan bergerak di zona merah pada hari ini, Senin (13/3/2023). Selengkapnya mengenai sentimen penggerak pasar hari ini bisa dibaca pada artikel ini halaman 3.

Pada perdagangan terakhir pekan lalu Jumat (10/3/2023), Indeks harga Saham Gabungan (IHSG) jatuh 0,51% ke posisi 6.765,30. Secara keseluruhan, IHSG melemah 0,71% dalam sepekan. Dengan demikian, IHSG sudah ambruk dalam tiga pekan beruntun.

Kendati ambles, investor asing masih mencatatkan net buy dalam sepekan yakni sebesar Rp 359,98 miliar. Pekan lalu, IHSG dibanjiri sentimen negatif dari China dan AS sejak hari pertama perdagangan.

Pemerintah China segera mengejutkan menetapkan menetapkan pertumbuhan ekonomi 2023 hanya di kisaran 5%. Target tersebut jauh bawah ekspektasi pasar yakni di atas 5% bahkan 6%.

China merupakan negara dengan skala ekonomi terbesar kedua di dunia setelah AS. Tiongkok juga menjadi mitra dagang utama Indonesia serta investor asing terbesar di Tanah Air kedua setelah Singapura.

Dengan peran besar China itu tidak heran kemudian jika proyeksi ekonomi China yang lebih rendah membuat IHSG tertekan.

Faktor negatif datang dari AS berupa pernyataan Chairman bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) Jerome Powell.

Dalam testimoninya di depan senat AS pada Selasa dan Rabu pekan lalu (7-8/3/2023), Powell menegaskan jika The Fed tidak ragu-ragu untuk menaikkan suku bunga lebih tinggi dengan periode yang lebih lama untuk menekan inflasi yang masih ‘bandel’.

Pernyataan Powell membuat nilai tukar rupiah dan hampir seluruh mata uang utama dunia hancur pada pekan lalu.

Pada perdagangan terakhir Jumat kemarin, rupiah ditutup di posisi Rp 15.445/US$1 atau terendah sejak 11 Januari 2023. Rupiah melemah 0,16%.

Secara keseluruhan, mata uang Garuda ambles 0,97% sepanjang pekan lalu. Artinya, mata uang Garuda sudah tersungkur selama lima pekan terakhir.

Pelemahan dalam tidak hanya dialami rupiah. Sebagian besar mata uang dunia juga ambruk pada pekan lalu. Pernyataan Powell membuat mata uang Korea, won, ambruk 1,86% sementara ringgit Malaysia jatuh 0,99%.

Di pasar Surat Berharga Negara (SBN), yield atau imbal hasil Surat Utang Negara (SUN) tenor 10 tahun sempat melonjak ke 7,04% atau level tertingginya 22 November 2022.

Imbal hasil sudah menurun pada Jumat pekan lalu menjadi 6,96%. Yield yang naik menandai harga SBN yang semakin murah karena investor lebih menjual SBN, terutama investor asing.

Berdasarkan data Bank Indonesia pada 6-9 Maret 2023, investor asing mencatat net sell di pasar SBN sebesar Rp 3,03 triliun.

Bursa saham Paman Sam diguncang krisis yang menimpa Silicon Valley Bank (SVB). Bank tersebut kolaps pada Jumat (10/3/2023) setelah rencana pengumpulan dana mereka gagal.

Pada penutupan perdagangan terakhir, Jumat lalu, bursa Wall Street berdarah-darah.

Indeks Dow Jones ambruk 1,07% ke posisi 31.909, 64, indeks Nasdaq terperosok 1,76% di posisi 11.138,89. Sementara itu, indeks S&P anjlok 1,45% ke posisi 3.861,59.

Dalam sepekan, indeks Dow Jones jatuh 4,44% atau terburuk sejak Juni tahun lalu. Indeks S&P ambruk 4,55% sepekan sementara indeks Nasdaq anjlok 4,71%.

S&P sektor keuangan sempat anjlok pada 4,1% pada Kamis (9/3/2023), atau terburuk sejak Juni 2020.  Penurunan tersebut salah satunya dipicu oleh ambruknya saham SVB Financial, indeks SVB, sebesar 60% pada Kamis pekan lalu.

SVB kolaps hanya 48 jam setelah berencana mengumpulkan dana sebesar US$ 2,25 miliar untuk menambah modal dan menyeimbangkan neraca mereka pada Rabu (8/3/2023).

Kolapsnya SVB ini bahkan dinilai sebagai kegagalan terbesar sejak Krisis Keuangan 2008/2009.Kejatuhan SVB bermula dari rencana mereka untuk menambah modal sekitar Rp 2,25 miliar pada Rabu (8/3/2023).

Sebesar US$ 1,25 miliar atau sekitar Rp 19,31 triliun diharapkan diperoleh melalui penjualan saham sementara sebesar US$ 500 juta atau sekitar Rp 7,7 triliun melalui saham preferen konvertibel.

SVB juga telah mengumumkan deal dengan perusahaan investasi General Atlantic senilai US$ 500 juta melalui penjualan saham.

Namun, upaya pengumpulan dana yang semula diharapkan bisa menyelamatkan perusahaan malah gagal. Investor melihat upaya SVB untuk menambah dana sebagai bentuk ‘alert” jika kondisi mereka tidak baik-baik Saja.

Terlebih, SVB merugi hingga US$ 1,8 miliar atau sekitar Rp 27,8 triliun akibat menjual obligasi yang dimiliki mereka di bawah harga.

SVB menjual obligasi, sebagian besar adalah surat utang pemerintah AS, Bond yang dijual senilai US$ 21 miliar atau sekitar Rp 324,35 triliun.

Rata-rata yield pada bond tersebut di kisaran 1,79%, jauh di bawah yield saat ini di kisaran 3,9%. Akibatnya perusahaan merugi.

Persoalan keuangan SVB membuat nasabah dan investor mereka panik dan menarik uangnya secara besar-besaran.

Hingga Kamis (9/3/2023), penarikan modal dari SVB menembus US$ 42 miliar atau Rp 648,69 triliun.

Lembaga Penjamin Simpanan AS (FDIC) pada Jumat pekan lalu akhirnya mengumumkan jika SVB resmi ditutup dan kini berada di bawah pengawasan kurator.

Menteri Keuangan Amerika Serikat (AS) Janet Yellen menegaskan tidak ada opsi bailout dalam upaya menyelamatkan SVB.

Pemerintah dan otoritas keuangan kini tengah menyiapkan sejumlah upaya penyelamatan SVB, termasuk dengan mencari investor baru ataupun menjual aset mereka. Namun, bailout bukan opsi.

“Selama Krisis Keuangan, ada banyak investor dan pemilik dari bank besar yang dibailout. Reformasi sudah dilakukan dan berjalan pada tempatnya. Kami tegaskan jika kami tidak akan melakukan bailout lagi,” tutur Yellen, berbicara dalam program “Face the Nation” CBS, dikutip dari CNBC International.

Yellen mengatakan sistem perbankan saat ini sudah tangguh untuk menghadapi krisis seperti SVB.

Krisis bank SVB membuat sentimen positif dari pasar tenaga kerja redam. Pada Kamis pekan lalu (9/3/2023), AS mengumumkan jika jumlah pekerja yang mengajukan klaim pengangguran pada pekan yang berakhir per 4 Maret 2023 mencapai 211.000 orang.Jumlah tersebut naik 21.000 dibandingkan pekan sebelumnya.

Departemen Tenaga Kerja pada Jumat malam (10/3/2023) juga mengumumkan angka pengangguran AS mencapai 3,6% pada Februari 2023.

Angka tersebut naik dibandingkan 3,4% pada Januari dan di atas ekspektasi pasar di kisaran 3,4%. Kenaikan angka pengangguran seharusnya menjadi berita gembira karena diperkirakan akan menjadi pertimbangan Teh Fed untuk melunakkan kebijakan agresifnya.

Namun, sentimen tersebut tidak cukup kuat untuk menopang kinerja bursa Wall Street.

“Pasar keuangan kini mencoba katalis bullish tetapi tidak menemukan satupun,” tutur Adam Sarhan, CEO of 50 Park Investments, dikutip dari CNBC International.

Investor perlu bersiap menghadapi badai yang kemungkinan menghampiri pasar keuangan Tanah Air pada pekan ini, terutama pada awal pekan.

Pekan ini ada sejumlah data penting yang keluar. Di antaranya adalah inflasi Amerika Serikat (AS) untuk Februari 2023 pada Selasa.

Dari dalam negeri, investor patut mencermati data neraca perdagangan yang akan dirilis pada Rabu (15/3/2023). Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan surplus melandai menjadi US$ 3,87 miliar pada Januari 2023.

Pada Rabu-Kamis (16/3/2023), BI akan menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG). Setelah menahan suku bunga di level 5,75%, pasar menunggu apa BI akan kembali mempertahankan suku bunga di level tersebut pada bulan ini.

Namun, sebelum melangkah pada Rabu dan Kamis, investor dan trader sudah harus dihadapkan pada sentimen negatif yang sangat kencang dari Paman Sam pada perdagangan Senin (13/3/2023).

Kolapsnya SVB dikhawatirkan akan membuat IHSG ambruk. Saham perbankan dan teknologi bisa terimbas dari krisis SVB mengingat ada kekhawatiran terkait risiko sistemik dari krisis tersebut.

Nilai tukar rupiah juga bisa melemah karena ancaman capital outflow dari investor asing yang khawatir dari dampak SVB.

Dampak kolapsnya SVB pada saham sektor perbankan sudah terlihat akhir pekan lalu di AS dan Eropa.

Hitungan Reuters memperkirakan saham-saham perbankan AS merugi US$ 100 miliar dari sisi market value pada Kamis dan Jumat pekan lalu. Sementara itu, perbankan Eropa merugi US$ 50 miliar.

Indeks bank regional S&P (.SPLRCBNKS) pada pekan lalu ambruk 18%, rekor terbesar setelah 2009.

“Investor benci dengan ketidakpastian dan kejutan. Krisis SCB jelas sebuah kejutan yang menciptakan banyak ketidakpastian. Jika tidak ada kepastian saat ini hingga Kamis maka bursa Wall Street akan sangat volatile,” tutur Michael Farr in, chief executive of investment advisory firm Farr, Miller & Washington, dikutip dari Reuters.

Krisis SVB juga dikhawatirkan bisa memicu kepanikan investor karena banyaknya dana perusahaan startup dan venture capital yang disimpan ataupun dibiayai di bank tersebut.

Analis bahkan menyebut kolapsnya SVB sebagai kegagalan terbesar sejak Krisis Keuangan 2008/2009. Terlebih, SVB masuk dalam 16 besar bank dengan aset terbesar di AS.

Aset SVB mencapai US$209 miliar atau sekitar Rp3.228,1 triiun dan simpanan sekitar US$175,4 miliar atau sekitar Rp 2.709,1 triliun per akhir 2022.

“Ada bank kolaps dan ini bisa menjadi kegagalan terbesar sejak 2008. Tentu saja ini akan menghantui pasar,” tutur Sylvia Jablonski, CEO dan chief investment officer Defiance ETFs, dikutip dari CNBC International.

Sebagai catatan, Krisis Keuangan Global pada 2008/2009 menyeret dunia ke dalam jurang resesi.

Berdasarkan data Dana Moneter Internasional (IMF) ekonomi global terkontraksi 0,6%pada 2009 setelah hanya tumbuh 3% pada 2008.

Pasar keuangan Indonesia baik saham, mata uang, hingga obligasi jatuh akibat aksi jual. Sektor keuangan Indonesia terimbas besar karena derasnya arus modal ke luar (capital outflow).

Merujuk data Refinitiv,pelemahan rupiah tercatat pada 1 Desember 2008 di mana rupiah ditutup di posisi Rp 12.150/US$, atau mengalami depresiasi sebesar 22,8% dibandingkan awal tahun.

Sebagai upaya untuk menstabilkan nilai tukar rupiah, cadangan devisa terkuras cukup dalam dari US$ 60,56 miliar pada Juli 2008 menjadi US$ 51,6 miliar dolar AS pada akhir tahun 2008.

Yield surat utang pemerintah tenor 10 tahun melambung ke level tertingginya pada2Oktober 2008 ke 21,48%.

Sementara itu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 60,73% dari posisi tertingginya pada 9 Januari 2008 di posisi2.830,26 menjadi 1.111,39 pada 28 Oktober 2008.

Berikut beberapa agenda penting terkait data ekonomi yang akan rilis hari ini:

Amerika Serikat akan mengumumkan consumer inflation expectation (22:00 WIB)

Agenda Perusahaan
* RUPS Rencana PT Bank Rakyat Indonesia (10:00 WIB)

Berikut indikator ekonomi Indonesia:

Indikator Tingkat
Pertumbuhan Ekonomi (Q 4-2022 YoY) 5,01%
Inflasi (Februari 2023 YoY) 5,47%
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Februari 2023) 5,75%
Surplus Anggaran (APBN Januari 2023) 0,43% PDB)
Surplus Transaksi Berjalan (Q4 2022) 1,3% PDB
Surplus Neraca Pembayaran Indonesia (Q4 2022) US$ 4,7 miliar
Cadangan Devisa (Februari 2023) US$ 140,3 miliar

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*