RI Siaga Fenomena Ekstrem, Kekeringan Parah 2015 Terulang?

Soldiers and a fire fighter spray water to extinguish forest fire at a peatland field in Kampar, Riau province, Indonesia, Tuesday, Sept. 17, 2019. Indonesian authorities have deployed more personnel and aircraft to battle forest fires that are spreading a thick, noxious haze around Southeast Asia. (AP Photo/Rafka Majjid)

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprakirakan, tahun ini Indonesia akan mengalami fenomena El Nino mulai semester II nanti. El Nino memicu terjadinya kondisi kekeringan untuk wilayah Indonesia secara umum.

Indonesia sendiri sudah beberapa kali mengalami fenomena El Nino, yang sering dikaitkan dengan kemarau ekstrem.

Menurut BMKG, El Nino terjadi setelah La Nina alias kondisi di mana curah hujan lebih tinggi dari biasanya. El Nino maupun La Nina rata-rata memiliki siklus setiap 3-4 tahun.

Catatan BMKG, Indonesia pernah mengalami El Nino sangat kuat, yang terbaru adalah pada tahun 2015-2016.

Lalu, apakah El Nino tahun ini akan seperti tahun 2015?

“Diprediksi tahun 2023 ini El Nino lemah, tidak separah 2015 ataupun 2019,” kata Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim BMKG Dodo Gunawan kepada CNBC Indonesia, Kamis (2/3/2023).

“Hingga pertengahan tahun 2023 kondisi musim di Indonesia dalam keadaan normal, artinya La Nina telah berakhir, El Nino belum muncul. Pada semester 2, ada peluang muncul El Nino dengan intensitas lemah,” jelasnya.

Di sisi lain, dia tetap memperingatkan akan adanya potensi kemarau panjang yang bisa memicu kekeringan di seluruh area pertanian dan hutan.

Pada kondisi ini, lanjut Dodo, jika aktivitas pembukaan lahan dilakukan dengan cara membakar, akan sangat berisiko terjadi kebakaran lahan. Bahkan bisa meluar dan tidak terkendali, apalagi di lahan gambut.

“Lesson learned 2015, jadikan informasi dari BMKG sebagai peringatan dini (Early Warning). Misal peringatan akan terjadinya El Nino. Karena kalau digunakan sebagai peringatan dini, informasi tersebut akan menjadi langkah pencegahan (Early Action) oleh para pemangku kepentingan,” terangnya.

Dia mengimbau agar tak ada kesenjangan antara early warning dengan early action. Hal itu sebagai pencegahan efek El Nino.

“Kalau sudah kadung kejadian, alias tidak memperhatikan early warning, maka terjadilah seperti 2015, dan penanggulangan yang sudah kadung terjadi jauh lebih sulit dari pada pencegahan. Dari pelajaran 2015 juga sekarang jabatan di TNI/POLRI jadi taruhan terkait karhutla (kebakaran hutan dan lahan),” pungkas Dodo.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, akibat kekeringan parah dipicu El Nino, terjadi karhutla luar biasa di tahun 2015.

“Data satelit Modis mendeteksi jumlah hotspot selama tahun 2015 tercatat 129.813 hotspot. Jarak pandang saat itu hanya 100 meter. Indeks standar pencemaran udara (ISPU) mencapai lebih dari 2.000 psi atau sudah sangat berbahaya. Hutan dan lahan seluas 2,61 juta ha terbakar dengan kerugian ekonomi mencapai Rp 221 triliun. Aktivitas pendidikan dan penerbangan lumpuh selama 2-3 bulan,” demikian dikutip dari situs resmi BMKG.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*