Program senjata nuklir muncul ke meja perundingan usai adanya penangguhan Rusia atas perjanjian New START. Amerika Serikat (AS) mulai khawatir atas keterlibatan China di dalamnya.
Perjanjian New START tersebut membatasi penggunaan dan pengembangan hulu ledak nuklir dengan Amerika Serikat (AS), di mana hal tersebut dapat memupus harapan.
Seperti diketahui diplomat regional dan analis keamanan dikabarkan menurunkan prospek China untuk dapat bergabung dengan pembicaraan AS-Rusia, tentang perpanjangan perjanjian kontrol senjata New START.
Persenjataan nuklir China saat ini menjadi inti kekhawatiran, seiring perkembangannya dalam ukuran dan kecanggihannya yang mutakhir. Bahkan ekspansinya semakin cepat.
Laporan tahunan Pentagon terkait China yang dirilis November tahun lalu mencatat bahwa Beijing tampaknya mempercepat perluasannya pada 2021 dan sekarang memiliki lebih dari 400 hulu ledak nuklir operasional.
Meski begitu angka ini masih jauh di bawah persenjataan AS dan Rusia yang dikerahkan dan sebagai cadangan.
Pada 2035, ketika kepemimpinan Partai Komunis yang berkuasa menginginkan militernya sepenuhnya dimodernisasi, China kemungkinan akan memiliki 1.500 cadangan hulu ledak nuklir dan serangkaian rudal canggih, kata Pentagon.
“Dibandingkan dengan pertukaran tradisional Rusia-AS, China adalah kotak ‘hitam’, tetapi makin besar setiap tahun,” ujar seorang diplomat keamanan Asia seperti dilansir Reuters, Minggu (26/2/2023).
“Penangguhan Putin mungkin telah membuat kita mundur lebih jauh dalam hal membuat China melangkah ke meja transparansi. Ada begitu banyak yang perlu kita ketahui tentang kebijakan dan niatnya”
Dalam pidato menjelang ulang tahun pertama invasi Rusia ke Ukraina pada Jumat, Presiden Vladimir Putin mengumumkan Moskow menangguhkan perjanjian yang ditandatangani pada 2010.
Perjanjian tersebut sebelumnya membatasi 1.550 jumlah hulu ledak nuklir strategis yang dapat dikerahkan baik oleh AS dan Rusia, sambil menyediakan inspeksi untuk saling menguntungkan.
Analis mengatakan langkah itu dapat membahayakan pencegahan timbal balik antara kedua negara, yang telah lama menjadi kekuatan nuklir terbesar dan memicu perlombaan senjata di antara negara-negara nuklir lainnya.
Tong Zhao, pakar nuklir yang berbasis di AS di Carnegie Endowment for International Peace, mengatakan dia yakin langkah Putin membatasi prospek kerjasama nuklir AS-China.
“Ini hanya akan membuat China semakin tidak tertarik untuk mengejar keamanan nuklir kooperatif dengan Amerika Serikat,” kata Zhao. “Sekarang bahkan contoh terakhir dari kerja sama pengendalian senjata ini sedang dirusak secara serius.”
Menjadi kekuatan nuklir sejak awal 1960-an, China selama beberapa dekade mempertahankan sejumlah kecil hulu ledak nuklir dan rudal sebagai pencegah di bawah janji uniknya, yakni “tidak ada penggunaan pertama”.
Janji itu tetap menjadi kebijakan resmi tetapi persenjataan yang mengelilinginya telah berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir sebagai bagian dari modernisasi militer Beijing yang lebih luas di bawah Presiden Xi Jinping.
Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) bahkan kini memiliki kemampuan untuk meluncurkan rudal bersenjata nuklir jarak jauh dari kapal selam, pesawat terbang, dan berbagai silo yang diperluas di pedalaman China. Ini dikhawatirkan beberapa ahli dapat digunakan dalam konflik atas Taiwan.