Chaos Perang Saudara di Tetangga RI, Biksu Lawan Militer-Junta Pecah
Situasi di wilayah Myanmar semakin panas. Tetangga Indonesia ini berada dalam perang saudara sejak junta militer pimpinan Min Aung Hlaing melakukan kudeta pemerintahan sipil pada Februari 2021.
Hingga saat ini, perlawanan dari milisi-milisi anti junta terus berlanjut. Tidak sedikit pihak yang memutuskan untuk mengkritik atau melawan junta militer yang berkuasa tersebut.
Terbaru, perang ini akhirnya menyeret kelompok biksu agama Buddha. Pada Selasa (23/1/2024), ratusan orang berdiri di alun-alun kecil Pyin Oo Lwin, sebuah kota perbukitan yang populer di Myanmar, untuk mendengar seorang biksu populer yang memberikan saran yang mengejutkan.
“Min Aung Hlaing https://kas138beloved.com/ harus minggir dan membiarkan wakilnya Jenderal Soe Win mengambil alih,” kata biksu ultra-kanan bernama Pauk Ko Taw itu, seperti dikutip BBC.
Pauk sendiri hingga saat ini masih setia mendukung junta militer. Namun serangkaian kekalahan telak yang diderita tentara di tangan milisi etnis dalam beberapa pekan terakhir telah mendorong pendukung Min Aung Hlaing untuk mempertimbangkan kembali.
“Lihat wajah Soe Win. Itu wajah prajurit sungguhan. Min Aung Hlaing tidak bisa mengatasinya. Seharusnya ia beralih ke peran sipil,” tambah Pauk.
Tidak jelas dukungan seperti apa yang dimiliki Pauk Ko Taw di angkatan bersenjata. Namun komentarnya senada dengan komentar para pendukung junta lainnya, yang semakin frustasi dengan ketidakmampuan para pemimpin militer Myanmar untuk membalikkan keadaan terhadap lawan-lawan mereka.
Di sisi lain, pemilihan Pyin Oo Lwin sebagai tempat pidatonya mendorong Ming untuk mundur juga menambah bobot ketegasan permintaannya. Kota itu dulunya merupakan bekas koloni Inggris ini kini menjadi lokasi Akademi Layanan Pertahanan elit, tempat para petinggi angkatan darat dilatih.
Hubungan antara militer dan kebhikkhuan bukanlah hal baru. Para biksu Burma memiliki tradisi politik yang panjang, seringkali aktivisme anti-otoritarian, mulai dari gerakan anti-kolonial pada tahun 1930-an hingga pemberontakan melawan kekuasaan militer pada tahun 1988 dan 2007.
Banyak yang menentang kudeta tahun 2021, beberapa di antara mereka menanggalkan jubah mereka dan mengangkat senjata melawan kudeta. Namun beberapa di antara mereka telah bekerja sama dengan para jenderal, berbagi keyakinan yang sama bahwa baik Buddha maupun budaya perlu dilindungi dari pengaruh luar.
Junta Terpecah
Di sisi lain, perpecahan juga muncul di kalangan aparatur negara. Komandan Pasukan Perbatasan wilayah Kayin, Kolonel Saw Chit Thu, mengatakan Pasukan Penjaga Perbatasan (BGF) yang berafiliasi dengan junta, tidak akan lagi bertanggung jawab kepada militer.
Figur beretnis Karen itu juga menyatakan netralitas BGF dalam perlawanan bersenjata terhadap pemerintahan junta.
“Sudah 30 tahun masyarakat Karen saling berperang dan membunuh. Jika kami terus menerima dukungan dari junta, kami harus terus menjalankan tugas tentara di bawah bimbingannya,” ujarnya dikutipĀ Radio Free Asia.
“Bagi kami gaji bukan yang utama, tapi hidup damai,” tegasnya.
Pengumuman Saw Chit Thu muncul setelah pihaknya menarik sekitar 300 tentara BGF dari pangkalan militer yang digunakan bersama dengan pasukan junta di dekat perbatasan dengan Thailand.
Kolonel tersebut mengawasi 13 batalyon dengan lebih dari 7.200 tentara di Kayin dan negara bagian Mon yang berdekatan, berkuasa atas perbatasan dengan Thailand dan Zona Ekonomi Khusus Yatai Shwe Kokko yang didukung China.