Amerika “Balas Dendam”, Lancarkan Aksi De-risking China!

US President Joe Biden (R) and China's President Xi Jinping (L) shake hands as they meet on the sidelines of the G20 Summit in Nusa Dua on the Indonesian resort island of Bali on November 14, 2022. (Photo by SAUL LOEB / AFP) (Photo by SAUL LOEB/AFP via Getty Images)

Pertemuan G-7 di Jepang pada akhir pekan lalu menjadi kabar buruk bagi China. Amerika Serikat dan enam negara besar lainnya sepakat untuk mengurangi ketergantungan pada China atau dikenal dengan istilah de-risking.

Aksi tersebut seakan menjadi “balas dendam” Amerika Serikat yang dilanda aksi dedolarisasi, dan China menjadi yang https://www.rtpkas138.xyz/ paling getol melakukannya.

Ketujuh negara tersebut akan melakukan diversifikasi supply atau mengurangi pembelian produk dari China. Hal ini dilakukan karena banyaknya negara Barat sangat tergantung pada China, dan hal tersebut dikhawatirkan bisa dimanfaatkan Negeri Tiongkok untuk menekan negara lainnya.

Kurang lebih sama seperti yang dilakukan Amerika Serikat dan Sekutu yang membekukan cadangan devisa Rusia dalam bentuk dolar AS yang ditempatkan di luar negeri. Amerika Serikat disebut menggunakan dolar AS sebagai senjata menekan negara lain, sementara China dikhawatirkan oleh Barat akan menggunakan barang dagangannya untuk menekan Barat.

“Pendekatan kebijakan kami tidak dirancang untuk merugikan China dan kami juga tidak berusaha menggagalkan kemajuan dan pembangunan ekonomi China. Pada saat yang sama, kami menyadari bahwa ketahanan ekonomi membutuhkan pengurangan risiko dan diversifikasi,” tulis pernyataan bersama G-7 sebagaimana dilansir CNBC International, Senin (23/5/2023).

Amerika Serikat memang sangat tergantung dengan China. Nilai perdagangan barang kedua negara mencapai US$ 690.6 miliar pada tahun lalu yang merupakan rekor tertinggi sepanjang masa. Sialnya, Amerika Serikat mencatat defisit dengan China sebesar US$ 388 miliar, artinya Negeri Paman Sam lebih banyak mengimpor ketimbang ekspor.

Masalah neraca perdagangan, Amerika Serikat sudah tidak pernah surplus dalam lebih dari 40 tahun terakhir, tepatnya sejak April 1982. Munculnya barang-barang “Made in China” yang murah membuat defisit perdagangan Amerika Serikat semakin membengkak. Tentu saja defisit perdagangan dengan China yang paling besar setiap tahunnya.

Hal ini membuat Presiden AS ke-45 Donald Trump mengobarkan perang dagang dengan China pada 2018 lalu.

Jerman yang merupakan salah satu negara G-7 juga mengalami defisit perdagangan jumbo dengan China, sebesar EUR 84 miliar pada 2022. Menteri Keuangan Jerman, Christian Linder pada Februari lalu bahkan menyebutnya defisit tersebut “perkembangan yang berbahaya”.

Aksi de-risking yang dilakukan G-7 membuat China merespon dengan menyebut mereka mencoba campur tangan urusan dalam negeri negara lain.

Kementerian Luar Negeri China mengatakan G-7 sebagai kelompok kecil yang berusaha mengatur dunia untuk melayani “kepentingan pribadi” Amerika Serikat dan segelintir sekutunya. Aksi G-7 juga disebut “menghalangi perdamaian internasional” dan mengatakan kelompok itu perlu “merenungkan perilakuknya dan mengubah arah”.

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*